SARIMIN akan dikenang oleh aktivis Gerakan Tiga Daerah sebagai Bupati yang tidak merespon dengan cepat dinamika Proklamasi Kemerdekaan. Kelambanan merespons dengan cepat di kalangan birokrasi menjadi stigma yang sampai sekarang masih melekat di tengah rakyat membutuhkan kesigapan kecepatan pelayanan. Salah satu kesalahan yang dianggap fatal oleh aktivis Gerakan Tiga Daerah ialah sikapnya yang menolak penaikan bendera Merah Putih di kantor Pemerintah Kabupaten Brebes dan tempat publik pada pertemuan kelompok nasionalis tanggal 22 Agustus 1945.
Tentang ini, Sarimin yang bernama lengkap Sarimin Reksodihardjo memberikan alasan dalam surat tertulis yang bersifat penjelasan (veklaring) tertanggal 23 Januari 1946 yang ditujukan pada Residen Pekalongan. Ia menuliskan mengenai sikapnya yang dianggap tidak nasionalis:
Pada saat itoe seorangpoen ta’ada jang tahoe benar tentang seloek-beloeknja Prolamasi. Toean Kromolawi jang habis dari Djakarta menerangkan bahwa Proklamasi belom berisi masih woejoed ideologies, beloem mempoenjai woejoed jang njata. Beloem woejoednja sesoedah diadakan pelimpahan kekoeasaan dari Djepang kepada Pemerintah Indonesia jang haroes dilakoekan dengan seksama . Sebeloem pelimpahan itoe dapat dikatakan beloem ada peroebahan ap-apa.
Keterlambatan penyerahan kekuasaan oleh Bupati Sarimin, berdampak bagi ditahannya beberapa pejabat pangreh praja di Kabupaten Brebes oleh kelompok revolusioner. Patih Brebes (sekarang setingkat Sekretaris Daerah) dan beberapa Wedana diculik dan ditahan. Mereka dibebaskan setelah menghadapi screening soal sikap nasionalisme dan keberpihakan pada proklamasi dan tak lupa untuk meninggalkan sikap feodalisme.
Mengapa seorang Sarimin terlambat untuk bersikap atau ini memang tipikal birokrat yang menunggu pilihan akhir karena kehati-hatian sebagai seoerang pangreh praja? Jika menilik dari otobiografinya Kenang-Kenangan Dari Masa Jang Silam (1965), Sarimin tergolong elite terpelajar karena mengenyam pendidikan modern pada masanya seperti sekolah Hollands Indlandsche School (HIS) Wonosobo dan dilanjutkan ke pendidikan pangreh praja Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) Mageleng tahun 1917 dan digenapkan melanjutkan ke Bestuurschool hingga Bestuuracademie (setingkat STPDN) tahun 1941. Tipikal birokrat tulen dan terpelajar ada pada diri Sarimin yang dilahirkan di Dukuh Lamuk desa Kalidesel Wonosobo. Masa kecilnya yang dekat dengan lereng pegunungan Dieng diingat betul oleh Sarimin :
Desa Kalidesel merupakan prototype dari desa-desa pegunungan disekitarnja,tak berbeda dengan desa-desa lainnja dan tak mempunjai keistimewaan suatu apa jg nampak pada umumnja. Bentuk desanja jg dikelilingi pagar bambu hidup,dengan pintu gerbang dan gardu pendjagaannja,bangunan rumah2nja dan tata-warnanja,serta tjara hidup rakjat sehari2nja tak menundjukkan perbedaan sedikitpun. Semua rumah dibuat dari kaju dan bambu, beratapkan seng atau bilik jg ditjat hitam (tir), berlantai tanah liat biasa.Ketjuali satu dua sa- dja jg lantainja plesteran,sedang rumah gedun.g tak ada sama sekali. Penduduknja hampir seluruhnja petani tembakau. Djagung merupakan makan pokokna,jg mereka tanam sendiri sehabis musim tembakau, disamping sajur majur, terutama untuk keperluan sen dmri.Bahkan orang jg tergolong tjukup sekalipun makanan sehari2nja djagung djuga . Hanja djika ada tamu sadja dihidangkan nasi beras.Dalam pada itu mereka banjak makan. daging,pindang ikan laut dan ikan asin.
Tipikal sebagai elit terpelajar tentu dibedakan dengan mereka yang mengkhidmatkan dalam pergerakan nasional. Inilah yang membedakan sama-sama terpelajar, namun orientasi ideologi kejuangan berbeda. Mobilitas sosial Sarimin diperoleh melalui Pendidikan, karena ia mengakui bukan dari kalangan trah rembes ing madu (bangsawan tinggi / priyayi tinggi). Dalam waktu singkat selepas pendidikan Bestuuracademie, Sarimin dipromosikan menjadi Wedana Wiradesa dan berikutnya Wedana Tegal, hingga Patih Tegal saat pendudukan Jepang. Total dalam 18 bulan akhirnya Sarimin Reksodihardjo menjadi Bupati Brebes. Sarimin mengalami proses transisi politik dari periode Binnelands Bestuur Hindia Belanda hingga pada periode pendudukan Jepang. Ia menggantikan jabatan Bupati Soetirto Pringgohaditirto yang selama 12 tahun memerintah Kabupaten Brebes. Terhitung jabatan Bupati Sarimin berlangsung dari bulan Mei hingga Oktober 1945.
Tentang Kabupaten Brebes ia mengenang tentang suasana Pendopo dan kediamannya kamar Kjaji Poleng (mbah Joko Poleng) yang di dalamnya terdapat sesaji dan damar (api) yang tak kunjung padam. Saat revolusi sosial Tiga Daerah, Sarimin mengungkapkan bahwa dalam setiap revolusi diboncengi oleh yang disebutnya profiteurs-profiteurs yang ingin mempergunakan pergolakan massa bagi kepentingan-kepentingannnya. Oleh karenanya dalam pertemuan pada 23 Agustus 1945, Sarimin tetap bersikukuh bahwa sebagai Kepala Daerah wajib menjaga keamanan dan ketentraman (Veklaring Sarimin, 1946). Termasuk pengakuannya saat mau di-fait accompli oleh kelompok nasionalis menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Cabang Brebes, dirinya menolak, karena jika menjadi Ketua KNI Brebes disamping sebagai Kepala Daerah akan mengurangi kekuatan badan perjuangan tersebut.
Tak lupa Sarimin mengakui keruwetan pada masa revolusi 1945 karena adanya 2 kekuasaan. Bahkan ia menuding kaum revolusioner Tiga Daerah yang negatif pada kaum birokrasi saat itu.
Yang jelas selepas dari jabatan Bupati Brebes tepatnya Maret 1946 ia ditarik ke Departemen Dalam Negeri aebagai pegawai tinggi. Konon di Departemen Dalam Negeri, Sarimin mengalami reorientasi sikap nasionalisme dan kebangsaan, Sarimin menguatkan etos perjuangan Indonesia dan banyak berkomunikasi dengan pejabat-pejabat Kementerian yang dulunya adalah aktivis pergerakan nasional.
Sarimin sebelum purna tugas menjadi Gubernur Sunda Kecil (meliputi Bali dan Nusa Tenggara) dari tahun 1952-1957. Sebelumnya menjadi Gubernur, Sarimin pernah menjadi Delegasi Pampasan Perang Jepang (1951-1952) serta Panitia Pembentukan Provinsi Sumatera Utara (1950-1951).
INFOTEGALBREBES | Portal Beritane Wong Tegal lan Brebes