“ALHAMDULILLAH, militer memang hebat.”
Begitulah tanggapan salah seorang tokoh masyarakat Kota Tegal ketika saya beritahu bahwa mulai Kamis malam, 13 Januari 2022, seluruh portal penutup jalan di kawasan alun-alun Kota Tegal mulai dibuka. Komentar itu disampaikan spontan lewat japrian WhatsApp ke nomor ponsel saya.
Saat itu belum terbetik kesimpulan yang sama di benak saya. Apalagi Kamis pagi sebelumnya saya bertemu dengan atasan dan kolega Sersan Mayor “T” di kantor kesatuannya. Kesan komandan dan para koleganya itu nadanya sama, yaitu menyayangkan dan menyesalkan aksi Mr. T pada Sabtu malam, 8 Januari 2022. Menurut mereka, aksi Serma “T” telah melanggar etika dan disiplin prajurit TNI, apa pun latar belakang dan motif tindakannya.
Aksi itu bukan hanya menimbulkan risiko bagi karier dan keluarga yang bersangkutan, tetapi juga bagi atasan di kesatuannya dan bahkan jalur komando di atasnya. Begitulah aturan ketat yang berlaku di TNI. Bila ada prajurit yang salah, maka komandan dan atasannya juga ikut bersalah karena dianggap tidak mampu membina yang bersangkutan.
Pengorbanan Tidak Sia-Sia
Sebagaimana diketahui, pada Sabtu malam itu sekitar pukul 21.00, ada tentara yang menendang portal penutup Jalan Sindoro. Beberapa kali tendangan kerasnya berhasil menjebol gembok portal sampai terbuka. Menurut keterangan saksi mata, tentara itu sebelumnya sudah minta secara baik-baik kepada petugas Dinas Perhubungan Kota Tegal yang berjaga di situ untuk memberi jalan. Namun, petugas saling lempar soal kunci gembok dan malah masuk ke mobil karena hujan.
Merasa jengkel, Mr. T dibantu seorang warga setempat akhirnya membuka paksa portal. Dia menendang portal sampai terbuka, sehingga dia bersama mobilnya bisa keluar dari Jalan Pancasila. Aksinya itu direkam lewat video oleh petugas Dishub dari dalam mobil dan viral di media sosial.
Sebagai jurnalis yang terlatih dengan disiplin verifikasi dan konfirmasi, saya berusaha menemui banyak sumber untuk mendapatkan informasi dari berbagai sisi. Saya temui juga Mr. T dan istrinya. Ternyata, “T” sadar dengan aksinya dan siap memikul tanggung jawab atas tindakannya. Dia menyatakan siap menerima sanksi apa pun dari atasannya. Istrinya, kendati berharap ada klarifikasi lebih dulu terhadap suaminya sebelum dijatuhi sanksi, juga mendukung tekad suaminya untuk menerima risiko apa pun dari tindakannya.
Jumat pagi, Mr. T sudah berada di Semarang. Dia dimutasi dari kesatuannya di Tegal ke markas kesatuan atasannya. Selain dimutasi, dia mungkin akan menerima hukuman lain. Hebatnya, hati sang istri justru makin kuat dan teguh. “Masalah sanksi, kami tidak khawatir. Kami siap menerima hukuman seberat apa pun, tapi hukuman untuk pengrusakan (portal) itu tidak akan seberat pembunuhan, Pak,” katanya.
Di tengah keterbatasan ekonomi keluarga dengan dua anak yang masih kecil, sikap suami-istri yang demikian membuat saya terharu. Dalam pandangan saya, keberanian bertindak dan bertanggung jawab adalah sikap seorang kesatria. Hanyalah kesalahan Mr. T karena dia tidak mengindahkan kedudukannya sebagai prajurit TNI dan tidak langsung melapor kepada komandannya. Demikian kesimpulan saya.
Namun, benarkah gara-gara video “tendangan bebas” itu Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono akhirnya bersedia membuka portal alun-alun?
Untuk mencari jawabannya, saya masih harus menemui sumber-sumber lain yang dekat dengan pihak yang berwenang. Dari sebuah sumber, saya mendapatkan informasi bahwa pada hari Kamis itu, ada rapat kalangan pejabat teras di Kota Tegal. Rapat ini memutuskan untuk membuka seluruh portal di kawasan alun-alun mulai Kamis malam dan hanya menutupnya selama dua jam, yaitu dari pukul 22.00 hingga pukul 24.00.
Sumber lain yang dekat dengan Balai Kota menjelaskan, memang akibat insiden Sabtu malam itu Wali Kota Dedy Yon dipanggil ke Semarang untuk diminta membuka portal. “Saya tidak tahu bagaimana bargainingnya, Wali Kota sepertinya minta agar alun-alun masih bisa ditutup selama dua jam dari pukul 22.00 sampai pukul 24.00. Ini sebenarnya kekalahan bagi dia,” kata sumber itu.
Kalau apa yang disampaikan oleh sejumlah sumber itu benar, maka kesimpulan dari tokoh masyarakat Tegal yang dikutip di awal tulisan ini tidak keliru. Bahwa aksi Mr. T telah mendorong petinggi militer di Semarang menekan Dedy Yon. Dan, sebagaimana dikatakan sumber yang dekat dengan Balai Kota itu, Dedy Yon hanya takut sama militer dan polisi. Portal di mulut Jalan Sindoro yang ditendang Mr. T
Hal ini berarti kenekatan (baca: pengorbanan) Mr. T tidak sia-sia. Persis seperti tanggapan istrinya: “Nggih, Pak. Alhamdulillah, kami lega pengorbanan suami sekarang ini tidak sia-sia. Dari dulu kami selalu berusaha membantu siapa pun dan berharap bermanfaat untuk orang banyak.”
Tekanan Berbagai Pihak
Namun, nanti dulu. Kalau hipotesis ini diterima, maka usaha dan pengorbanan pihak lain seperti tidak diakui. Selain itu, pembukaan portal alun-alun hanyalah salah satu tujuan perjuangan warga setempat melawan kebijakan wali kotanya. Tujuan lainnya adalah dicabutnya rambu-rambu larangan parkir di sepanjang Jalan Pancasila yang dianggap ikut membuat lesu perdagangan. Tujuan yang kedua ini belum gol.
Perjuangan warga sudah berlangsung berbulan-bulan, tepatnya sejak Juni 2021, ketika warga melayangkan surat ke Wali Kota untuk meminta peninjauan ulang larangan parkir. Bahkan jika dihitung sejak demo PKL menentang penggusuran saat renovasi Taman Pancasila, perjuangan itu sudah berlangsung setahun lebih. Ketika Paguyuban Pedagang Kawasan Alun-Alun Tegal (P2KAT) dibentuk awal Desember 2021, berbagai pihak ikut terlibat membantu perjuangan warga.
Mulai dari DPRD, Kapolresta, Dandim 0712 / Tegal, Gubernur, Menteri Perhubungan, Kantor Staf Presiden (KSP), Kapolri, Panglima TNI, anggota Wantimpres Habib Lutfi, hingga Presiden Joko Widodo pernah ditemui atau disurati oleh P2KAT. Kalau dikatakan bahwa hanya karena aksi Mr. T-lah yang dapat mengubah sikap Wali Kota Tegal, maka sama saja mengesampingkan kontribusi para pihak tersebut di atas dan juga P2KAT sendiri sebagai motor perjuangan warga.
Jadi boleh dikatakan aksi Mr. T telah memancing tekanan dari kalangan petinggi militer, seperti membangunkan macan tidur. Namun perubahan sikap Dedy Yon bisa saja merupakan akumulasi berbagai tekanan sebelumnya dari seluruh pihak tadi. Hal ini yang membuat Dedy Yon harus berpikir rasional dan realistis terkait kebijakannya terhadap kawasan alun-alun.
Masalahnya, apakah perubahan sikap itu akan berlangsung seterusnya atau hanya sementara. Sebab, kebijakan dasarnya adalah menjadikan kawasan alun-alun sebagai ruang publik dan pejalan kaki. Untuk menjadi kawasan pejalan kaki, maka alun-alun harus tertutup bagi kendaraan bermotor pada sore hingga malam hari. Malah, menurut Dedy Yon, sepeda saja tidak boleh lewat di kawasan ini.
—
A. Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.
Sumber https://panturapost.com/aksi-mr-t-yang-mengguncang-kota-tegal/
INFOTEGALBREBES | Portal Beritane Wong Tegal lan Brebes