INI tahu gejrot bukan sembarang tahu gejrot yang biasa dijual dari satu gang ke gang lain. Makanan wong cilik ini buka ba’da asyar hingga pagi hari.
Kang Warso (5O) membuka dagangannya di emper pecinan. Persisnya di sebelah selatan Masjid Agung, 50 meter dari gerbang Balaikota Tegal. Ia menamakan dasarannya: “Fink Gejrot”. Mengapa?
“Untuk keren-kerenan aja. Karna kebanyakan penjual tahu gejrot mengecat gerobaknya menggunakan warna hitam. Kami ingin beda memakai warna fink kegemaran putri-putri masa kini,” paparnya.
Kang Warso mengaku berjualan makanan tahu gejrot sudah hampir seperempat abad, separuh usianya. Dua puluh 25 tahun silam ia berjualan kecil-kecilan tahu jegrot berkeliling dari kampung ke kampung di wilayah Brebes dan daerah tetangga. Ia sendiri kelahiran Desa Negla Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah.
“Dulu saat belajar berdagang cuma bawa 150 tahu pong. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit seperti kata pepatah,” katanya di tengah nggulek butir-butir bawang merah campur gula pasir, gula jawa, sedikit garam, dan disiram air gula jawa.
Sebagai pemilik dagangan, ia tidak hanya berpangku tangan. Ia tetap pengulet ramuan bawang merah seperti yang sudah diterangkan di atas. Mengapa?
“Untuk urusan ngulek bawang merah dan bumbu lainnya tidak mungkin saya serahkan pada karyawan. Bukan karena ada rahasia. Semua bumbu bisa Anda lihat sendiri. Namun karena apa? Urusan mengulek bawang dan bumbu lainnya butuh pengalaman bertahun-tahun. Orang yang baru dengan yang sudah lama, rasanya tidak bisa sama. Contohnya, seorang yang sudah biasa buat sambal dengan suami yang baru belajar disuruh buat sambal, pasti hasilnya lebih mantap buatan istri. Betul apa tidak?” ujar bapak dari 3 seorang anak balik bertanya.
Ada benarnya memang omongan Kang Warso. Itulah sebabnya untuk urusan buat bumbu tahu gejrot kudu ditangani sendiri.
Dikatakan lebih lanjut, tempat dagangannya ia dibantu oleh dua pelayan. Yang satu khusus untuk melayani dan yang satunya lagi sebagai pramu saji.
Lebih lanjut, ia bercerita, mulai berdagang di Kota Tegal sudah berjalan 2 tahun dari sebelum wabah Covid-19 melanda.
“Semula saya berdagang di pinggiran jalan sampai kemudian Alun-alun depan Masjid Agung Tegal dirombak total. Usai wabah Covid-19 reda, dagangan saya mulai menempati di emperan pecinan seperti sekarang ini.”
Menurutnya, setiap hari ia menghabiskan kurang lebih 8 keranjang plastik, berisi sekitar 4 ribu tahu pong. Sedang untuk persediaan bawang merah dan cabai rawit mencapai 20 Kg. Gula pasir dan gula jawa rata 8 Kg. Ia membeli tahu asli cirebon. Satu porsi atau satu layah dibandrol Rp 8 ribu.
Tahu gejrot “Fink Gejrot” Kang Warso rasa pedas bawang dan cabe rawitnya, betul-betul nendang. Konsumen yang memburu makanan miliknya tidak hanya mereka yang bermotor melainkan orang-orang yang berkendaraan roda empat. (*/pp)
INFOTEGALBREBES | Portal Beritane Wong Tegal lan Brebes