WILAYAH kotanya tidak seberapa, cuma empat kecamatan. Orang Tegal bilang, cukup satu kepalan tangan. Jika ditempuh menggunakan sepeda ontel, kisaran 2 jam sudah kelar dijangkau. Meski demikian, perekonomian kota ini laju melesat. Di kota ini, sektor perbankan, merebak. Dalam satu kelurahan bisa mencapai 10 unit perbankan, terhitung baik yang berstatus swasta maupun non swasta.
Pusat-pusat perdagangan menyebar di tiap-tiap kelurahan hingga kecamatan. Pedagang Kaki 5 hampir di setiap jalan hingga ke pusat kota seperti di kawasan Alun-alun depan BRI ke timur lurus sampai depan stasiun kereta api, tumpah ruah. Di wilayah ini segala macam usaha datang masyarakat lengkap dari yang namanya bakso hingga pizza. Di kawasan Tegalsari hal yang sama dijumpai. Beraneka macam masakan dari kupal blengong, ponggol, sauto, tempe tahu hingga sea food di sini tempatnya.
Jangan dihitung lagi kuliner yang tersaji di Kota Tegal, dari yang tradisional sampai masakan Cina dan kuliner ala masakan Eropa yang diserbu masyakat berkantong tebal, tidak ketinggalan.
Butuh sate kambing pusatnya ada di kawasan Debong Tirus. Di Jalan Setiabudi sampai ke barat siapapun dapat menjumpai masakan itu. Di wilayah Kelurahan Slreok di jalan Sembodro hingga ke daerah Pasar Langon terbuka lebar hidangan sate kambing muda dan bermacam kelengkapannya. Sementara masakan ala warteg sampai kafe dan kedai kopi terampar di sepanjang jalan.
Di Kota Tegal, para pelancong dijamin tidak bakal kelaparan. Semua masakan dan minuman seperti sekoteng, es teh, es campur, es kelapa muda, dan minuman produk luar negeri tersanding.
Pada tahun 60-an penyair yang dramawan WS. Rendra pernah menulis di surat kabar Jawa Timur, kota ini dijuluki sebagai “Kota Tak Pernah Tidur”. Ungkapan sang penyair Angkatan 66 ini menegaskan bahwa Kota Tegal, merupakan sebuah wilayah yang sepanjang malam tidak pernah sepi dari hiruk-pikuk kehidupan malam lengkap dengan segala makanan yang tersaji. Utamanya adalah warteg-warteg yang menggelar dagangannya di trotoar Pecinan hingga dini hari. Di jalan A. Yani adalah pusatnya.
Mengapa kota sekecil Tegal, kehidupan malamnya sedemikian gemebyar dengan ekonomi kerakyatannya? Alasannya cukup simpel. Pada tahun 50-an para wartegwan mengembara ke Ibukota Jakarta membuka warung-warung Tegal alias Warteg. Mereka mengadu nasib di Kota Metropolitan bertekad untuk memberi ‘makan’ para pekerja berpenghasilan kecil. Pada awalnya mereka menjajakan masakan kelas ekonomi rakyat jelatah, dan bisa dihitung dengan jari. Seiring perkembangan zaman, para wartegwan menyerbu Kota Jakarta.
Menurut Kang Atmo Tan Sidik, alasan mengapa orang Tegal banyak memasrahkan kehidupan mereka dengan berdagang, salah satu yang mendasari adalah para wartegwan. Dari sanalah masyarakat jelatah Tegal yang ingin merubah hidupnya mengikuti jejak mereka.
“Wajar jika kemudian di semesta Tegal banyak tumbuh sektor perdaganan,” ujar Atmo.
Ditambahkan, merebaknya sektor perdagangan di Tegal lantaran sudah dimulai dari para wartegwan. Istilah Atmo, sudah ada “bapak kandung” mereka yang memulai usaha warteg.
“Bisa dibilang, para wartewan itu “bapak kandung” mereka yang babat alas. Jadi wajar jika masyarakat Tegal sekarang ini banyak membuka usaha dagang di daerahnya.”
Senada dengan Kang Atmo, Dhimas Riyanto, yang sudah puluhan tahun mengembara di Jakarta telah menyaksikan kegigihan para wartegwan mengadu nasib di Kota Metropolitan
“Saya sepakat dengan omongan Kang Atmo, bahwa para wartegwan adalah “bapak kandung” para pedagang yang sekarang merebak di Tegal, mengikuti pendahulunya besusah payah hidup di sepetak tanah Kota Jakarta untuk membuka usaha warteg. Hasilnya, sekarang ini banyak masyarakat Tegal membuka usaha mandiri di kotanya sendiri,” ucap Dhimas, yang juga sebagai penulis lagu Tegalan. (*)
———-
Lanang Setiawan, novelis penerima Hadiah Sastra “Rancage” 2011.
INFOTEGALBREBES | Portal Beritane Wong Tegal lan Brebes