Sejarah Prostitusi di Tegal dan Pesisir Kulon Jawa - INFOTEGALBREBES | Portal Beritane Wong Tegal lan Brebes
Follow Me INFOTEGALBREBES on Google News Follow Now!

Sejarah Prostitusi di Tegal dan Pesisir Kulon Jawa

SEJARAH prostitusi di pesisir kulon Jawa, khususnya Tegal, tak bisa dilepaskan dari dinamika kelam pertumbuhan suatu wilayah. Perubahan suatu wilayah menjadi tatanan kota merupakan salah satu pendukung yang menguntungkan bagi perkembangan prostitusi. Tumbuhnya kota memberikan konsekuensi hadirnya dinamika ekonomi meningkat serta mobilitas demografi yang meninggi. Di antaranya keberadaan warga Eropa yang bertandang ke Hindia Belanda untuk urusan mencari peruntungan maupun keperluan bisnis.

Apa yang ditulis oleh John Ingleson, Perkotaan, Masalah Sosial dan Perburuhan di Jawa Kolonial (2013), sejak tahun 1890 perusahaan-perusahaan kolonial di Hindia Belanda lebih menyukai merekrut pegawai laki-laki yang belum menikah untuk dipekerjakan. Merekalah yang menjadi pelanggan untuk gaya hidup perkotaan seperti mendatangi societet, klab malam dan rumah bordil.

Dari tulisan tersebut rumah-rumah bordil pun dimiliki orang-orang Cina dan Jepang. Sementara di pinggiran kota bermunculan rumah-rumah bordil kampung. 

Bagaimana dengan Tegal? Memasuki abad XX Tegal tumbuh sebagai wilayah perniagaan dan kota modern yang ditunjang dengan jaringan transportasi serta kawasan pelabuhan Tegal yang menghubungkan kawasan pesisir dengan hinterland. Sehingga tidak mengherankan pada tahun 1906 Tegal ditetapkan sebagai gementee selain pemerintahan pribumi (regentschaap). Sebagai kawasan kota modern, telah berdiri perusahan layanan seperti listrik, Aniem (1915), kantor pos dan telegraf (1900), instalasi air bersih (1932), jasa perbankan (1914). Terdapat pula moda transportasi trem dan kereta api yang melayani sejak akhir abad XIX. Untuk keperluan bersenang telah berdiri societet Da Slamat (1901). 

Maka tidak mengherankan wilayah Tegal banyak dihuni berbagai ragam etnis dan bangsa. Khususnya untuk warga Eropa berdasarkan pemberitaan harian Neratja November 1920 di Karesidenan Pekalongan ada 4.700 warga Eropa berdiam diri. Dari data tersebur, 2.300 orang bermukim di Tegal.

Ini berbeda dengan yang dicatat Robert Bridson Cribb dalam, Historical Atlas of Indonesia (2000), penduduk Eropa di karesidenan Pekalongan ada 3.217 pada tahun 1920. Adanya kerkoff  (makam) di Tegalsari menunjukkan bukti keberadaan warga Eropa di Tegal. Industrialisasi memicu arus lahirnya daerah hunian baru sekaligus ruang untuk kenikmatan bagi para pekerja dan buruh.

Selain itu perubahan yang tampak adalah orientasi masyarakat Hindia Belanda soal seksual. Memasuki awal abad XX masyarakat terbuka soal orientasi seksual. Studi Gayung Kasuma, Dari Privat ke Publik : Kehidupan Seksual di Jawa Awal Abad XX , memasuki abad XX, masalah seks menjadi bagian publik hingga tak malu, media massa mengiklankan obat konsumsi seks. Sisi lain dari kehadiran prostitusi tentu munculnya masalah patologi sosial seperti merambahnya penyakit kelamin dan aborsi.

Masih mengutip John Ingleson bahwa di tahun 1941 di beberapa kota besar di Jawa, kurang lebih 15 % dari populasi penduduk terinfeksi penyakit kelamin. Rupanya pemerintah kolonial serius dalam menanggapi soal prostitusi. Tahun 1905 dibentuk Declining Welfare Commission soal problem sosial, diantaranya adalah dampak prostitusi. 

Mengejutkan dari laporan Komisi tersebut bahwa konsumen bisnis prostitusi dari warga Eropa adalah mereka yang berdinas di militer. Rata-rata mengidap masalah penyakit kelamin berupa rajasinga (sifilis). 

Beberapa kampung-kampung bordil Tegal sebelum pendudukan Jepang berada di wilayah dekat pelabuhan serta dekat dengan jalur Groote Postweg (jalan Daendels). Memasuki tahun 1950an tumbuhnya kampung kampung ghetto, memantik bisnis prostitusi. Kampung – kampung ini berada di pusat industri dan lokasi pengembangan wilayah.

Orang Tegal mengenal daerah seperi Tempa, Mandala, Gudang Barang. Memasuki 1970an mengenal kampung Barasid.  Barasid merupakan lokalisasi prostitusi legend yang berada di wilayah kota Tegal hingga tahun 1990an. Istilah lokalisasi prostitusi seperti Wandan, Peleman, Maribaya hingga Plawangan menunjukkan daya gerak setelah arus mobilitas jalur pantura dinamis.

Bisnis lendir tersebut menjadi primadona sepanjang wilayah pantura, sebelum resmi dinyatakan ditutup tahun 2017. Tak heran jika sepanjang pantura Tegal hingga Pemalang merupakan kawasan lokalisasi terpanjang.

Yang menarik adalah kode-kode bagi pelanggan untuk berpakansi ke kawasan tersebut di antaranya, “Yuhhh ngetan” atau “Darul Nikmat”. Lokalisasi perkampungan merupakan ciri khas bisnis prostitusi yang dikemas ala rumahan. Tidak hanya di Tegal, beberapa kota-kota besar mengenal bisnis prostitusi bentuk kampung, seperti Dolly  dan Kremil Surabaya, Kramat Tunggak, Sunan Kuning untuk menyebut rumah-rumah bordil perkampungan.

Inilah yang membedakan bisnis prostitusi sekarang yang terasa eksklusif melalui layanan online. Keriuhan pengunjung, bau rokok kretek, dentuman tarling dan dangdut, candaan seronok, bau bir menyelinap obrolan, sesuatu yang digambarkan Suparto Brata dalam novel Kremil merupakan daya tarik mengapa ada sense remembrance dari ciri bisnis prostitusi ala pesisir kulon ini. (*)

WijanartoSejarawan

Sumber https://panturapost.com/prostitusi-di-tegal-dan-pesisir-kulon-jawa/


INFOTEGALBREBES | Portal Beritane Wong Tegal lan Brebes


Posting Komentar